17 oktober, 2008

Sejarah Perkembangan UUD 45

A. PENDAHULUAN

Indonesia adalah sebuah negara yang berdasarkan hukum. Dalam arti, bahwa semua aktivitas pemerintahan mendasarkan “aksi” dan “perilaku” pada tatanan formal-konvensional. UUD 1945 sebagai sebuah konstitusi awal bagi negara Indonesia merupakan pijakan bagi aturan-aturan lain, memegang peranan penting dalam mengatur hal-hal dasar dalam pemerintahan.
Terlepas dari perdebatan mengenai UUD 45 apakah ia merupakan konstitusi atau bukan, ia adalah konstitusi “formal” yang dipunyai Indonesia sejak negara itu berdiri secara de-facto dan de jure.
Konstitusi juga sangat penting karena ia juga dianggap sebagai jaminan yang paling efektif bahwa kekuasaan tidak akan disalahgunakan dan hak-hak warga negara tidak dilanggar.
Kegelisahan yang menjadi muara tulisan ini adalah, apakah proses perkembangan UUD 45 yang relatif syarat konflik dan kepentingan mempunyai sumbang sih bagi atau untuk demokratisasi. Setidaknya ada lima persoalan yang harus dibenahi dalam UUD 1945, yaitu masalah kedaulatan rakyat, hak asasi manusia, kekuasaan pemerintahan, kekuasaan parlemen, dan kekuasaan kehakiman. Masing-masing permasalahan mengandung berbagai kelemahan yang telah memasung semangat demokrasi dalam kehidupan bernegara di Indonesia. Untuk masalah kedaulatan rakyat saja, UUD 1945 terlalu longgar dalam memberikan dasar hukum dengan memberikan kewenangan untuk mengatur kelembagaan MPR dalam undang-undang yang dibuat oleh pemerintah bersama dengan DPR, padahal lembaga kedaulatan rakyat ini seharusnya mempunyai fungsi kontrol atas pemerintah.
Ide demokrasi menjadi term yang “wah”, dan ada sebagian yang menyebutnya sebagai “ambiguous”. Ia mempunyai dua mata pedang, apakah ia dimaksudkan sebagai arti dari lembaga-lembaga atau cara-cara yang dipakai untuk melaksanakan idee, ataukah ia berarti keadaan kultur yang secara historis mempengaruhi istilah, ide serta praktek demokrasi.
Pada umumnya, negara Indonesia pada masa awal menghadapi dilema dalam arti kedua-duanya. Indonesia menghadapi permasalahan bagaimana nation building dan pembangunan ekonomi secara serentak. Dalam bahasa yang sederhana, Indonesia butuh sebuah budaya sosial politik, serta –dilanjutkan-dengan masalah ekonomi yang demokratis.


B. SEJARAH DEMOKRASI DI INDONESIA
Setiap prgantian undang-undang dasar mencrminkan anggapan bahwa perubahan konstitusionil yang ihaapi brsifat bgitu funamentil, shingga mengadakan perubahan paqa undang-undang dasar yang sedang berlaku dianggap tidak memadai. Akan tetapi, apabila ditinjau dari sudut perkembangan demokrasi sejarah republic Indonesia dapat dibagi dalam tiga tahap ;
1. masa 1945-1959 sebagai republic Indonesia ke I (Demokrasi parlementer) yang didasari tiga unang-undang asar brturut-turut, yaitu 1945, 1949, dan 1950
2. masa 1959-1965 sebagai republic Indonesia ke II (Demokrasi terpimpin) yang didasari unang-undang dasar 1945
3. masa 1965 sampai skarang sbagai republic Indonesia ke III (demokrasi pancasila) yang didasari undang-unang dasar 1945
Sejarah demokrasi Indonesia dapat dibagi menjadi tiga periode:
a. UUD 1945-1959 (Demokrasi Parlemen)
b. UUD 1959-1965 (Demokrasi Terpimpin)
c. UUD 1966-sekarang (Demokrasi Pancasila)
a. Masa Demokrasi Parlemen
Masa ini merupakan awal percobaan demokrasi bagi negara Indonesia. Sistem pemerintahan yang cenderung parlementar, yaitu adanya tanggung jawab secara “politis” bagi presiden dan menteri-menterinya.
Banyak kalangan yang menilai, sistem pemerintahan dan demokratisasi pada era ini mengalami kegagalan. Meski demikian ada sebagian yang berpendapat bahwa konfigurasi perpolitikan berjalan secara demokratis.
Hal tersebut bisa diamati misalnya dengan bekerjanya pilar-pilar demokrasi seperti berikut ini:
1) Kehidupan Kepartaian dan Peranan Badan Perwakilan Rakyat.
Seiring dengan adanya kondisi politik yang “membaik”, pada masa ini timbul partisipasi masyarakat untuk turut membuat keputusan publik. Hal tersebut dikuatkan dengan adanya Maklumat Wakil Presiden No. X Tahun 1945 serta maklumat-maklumat lain yang merupakan legalisasi bagi penarikan partisipasi rakyat seluas-luasnya.
Sistem kepartaian diubah menjadi sistem banyak partai, dan memberikan kesempatan seluas-luasnya bagi rakyat untuk mendirikan partai-partai politik.
Tercatat, pada periode ini, dan tentu selepas adanya maklumat tersebut, berdiri secara resmi partai-partai politik hingga sampai bulan Januari 1946 berjumlah 10 partai, yaitu: Masyumi (Majelis Syuro Muslimin), PKI (Patai Komunis Indonesia), PBI (Partai Buruh Indonesia), PRJ (Partai Rakyat Jelata), Parkindo (Partai Kristen Indonesia), PSI (Partai Sosial Indonesia), PRS (Partai Rakyat Sosialis), PKRI (Partai Katolik Republik Indonesia), PERMAI (Persatuan Rakyat Marhaen Indonesia), PNI (Partai Nasional Indonesia).
Sementara, peran dan kualifikasi menjadi anggota DPR pada era ini tidak berdasarkan partai, namun berdasarkan pada negara-negara bagian, NRIS, dan golongan Cina, Eropa, Arab sesuai dengan ketentuan-ketentuan yang dimuat di dalam konstitusi.
Pada masa-masa ini, khususnya dari tahun 1950-1959 adalah masa liberal di mana partai-partai melalui perlemen benar-benar mengatasi kedudukan pemerintah. Sehingga bisa dikatakan bahwa pola hubungan pemerintahan dan parlemen merupakan bureau-nomia
2) Kebebasan Pers
Kebebasan pers menjamur sejalan dengan liberalisme yang dianut pada masa ini. Jika kurun waktu antara 1945-1949 hanya ada pers mahasiswa Idea, maka pasca tahun 1950 bermunculan pers mahasiswa di berbagai kota. Kondisi ini menunjukkan bahwa masyarakat dari berbagai golongan bebas mengekspresikan pendapat.
Jika di lacak intervensi pemerintah terhadap kebebasan pers pada masa ini, maka akan menunjukkan tingkat intervensi yang tinggi.
Lantas, pertanyaan yang menggelitik muncul: mengapa ada sebagian yang menyebut masih ada kebebasan pers, dilain pihak intervensi pemerintah begitu tinggi? Jawabannya ialah karena dalam keadaan yang masih memungkinkan bagi pemerintah untuk melakukan tindakan antipers ternyata kalangan pers sendiri melawan dengan tulisan-tulisan yang amat keras, jadi ada kemungkinan berkonfrontasi secara imbang, dan dalam berhadapan itu pihak pers berdiri dengan tegar. Serangan-serangan pers pada waktu itu ditujukan kepada kebijakan umum pemerintah bahkan hingga sampai kepada mengkritik pribadi presiden.
3) Peranan Pemerintah
Menjamur dan makin kuatnya peran partai politik secara logis berakibat pada melemahnya kinerja pemerintah. Tercatat selama lebih dari kurang lebih empat tahun berlakunya UUD 1945 terjadi beberapa penyimpangan dalam penerapan sistem parlementer. Terjadi lima kali pergantian kabinet, mulai Syahrir I, Sjahrir II, Sjahrir III, Amir Sjarifudidin I, Amir Sjarifuddin II. Pada akhir pergantian kabinet Amir Sjarifuddin, muncullah Hatta yang tampil dengan sistem presidentilnya hingga 27 September 1949. Memang ketika Hatta memimpin tidak terjadi “insiden”, akan tetapi hal tersebut lebih dikarenakan; (1) bentuk susunan kabinet negara serikat relatif singkat, yaitu 8 bulan, (2) ada ketentuan yang membuat parlemen tidak dapat memaksa kabinet atau menteri untuk meletakkan jabatan.
b. Masa Demokrasi Terpimpin
Era demokrasi terpimpin muncul secara resmi setelah konstituante dianggap gagal memenuhi tugasnya menyusun UUD yang tetap, dan dibubarkan dengan Dekrit Presiden 5 Juli 1959. Demokrasi terpimpin merupakan penolakan terhadap sistem yang berlaku sebelumnya, ketika politik sangat ditentukan oleh politik partai-partai melalui sistem free fight. Proses pengambilan keputusan dalam demokrasi terpimpin didasarkan pada musyawarah dan mufakat serta semangat gotong royong di bawah kepemimpinan presiden Soekarno yang kemudian menampilkan Soekarno sebagai penguasa yang otoriter. Bersamaan dengan penjelmaan kepemeimpinan otoriter Soekarno, ada dua kekuatan lain yang mengokohkan kekuatan politiknya (diatas melemahnya partai-partai lain) yaitu Angkatan Darat dan Partai Komunis Indonesia (PKI). Sehingga pada masa itu ada tiga kekuatan politik yangh saling tarik menarik yaitu Soekarno, Angkatan Darat, dan PKI.
Konfiguras politik pada Demokrasi Terpimpin ini bisa dilihat dari :
1. Kehidupan Kepartaian dan Peranan Badan Perwakilan Rakyat
Pada tanggal 21 Februari 1957, Soekarno mengajukan konsep tentang bagaimana mewujudkan demokrasi terpimpin. Dalam pembentukan kabinet, setiap partai ( baik besar atau kecil dan atau dari aliran manapun) harus diberi jatah kursi dan itu disebutnya sebagai kabinet gotong royong. Setelah Dekrit presiden tangal 5 Juli 1959, presiden mulai mengimplementasikan gagasan-gagasannya tentang demokrasi terpimpin dalam sistem ketatanegaraan. Sistem demokrasi terpimpin didasarkan pada aliansi antara partai-partai, ABRI, Presiden.
2. Kebebasan Pers
Pada kepemimpinan Soekarno terlihat tindakan anti pers yang semakin kuat yang mendapat dukungan dari PKI dan TNI. Tercatat oleh Edward C. Smith bahwa telah terjadi tindakan anti pers sebvanyak 480 tindakan terhitung dari tahun 1957.
Pelaku tindakan anti pers adalah Pemerintah dan Angkatan Darat. Pada tanggal 14 September 1956 (ketika Indonesia masih secara formal berada dalam sistem demokrasi liberal-parlementer), Angkatan Darat mengeluarkan Surat Keputusan dalam keadaan darurat yang isinya melarang pemberitaan pers yang bersifat provokatif.

3. Peranan Pemerintah
Setelah kembali ke UUD 1945 berdasarkan Dekrit Presiden 5 Juli 1959, maka kekuasaan sksekutif secara konstitusional beralih ke tangan presiden. Artinya terbuka jalan lebar bagi Soekarno untuk merealisasikan konsepsi demokrasi terpimpinnya. Meskipun Dekrit Presiden secara tegas menyatakan memberlakukan UUD 1945, tetapi dalam prakteknya apa yang dilakukan Soekarno jauh menyimpang dari konstitusi tersebut.
Sistem Demokrasi terpimpin ternyata tidak melaksanakan Pancasila dan UUD 1945 secara murni dan konsekuen. Secara formal, Pancasilan dan UUD 1945 memang menjadi ideologi dan konstitusi resmi, tetapi realita kehidupan politik yang berkembang di zaman demokrasi terpimpin jauh berbeda dengan apa yang sesungguhnya dikehendaki.
c. Masa Demokrasi Pancasila
Menurut musyawarah nasional III Prsahi : The Rule of Law, December 1966, azas Negara hokum pancasila mngandung prinsip :
1. pengakuan an perlinunan hak azazi yan menganung perrsamaan adlam bidang plotik, hokum, social, ekonomi, kultur dan pndidikan.
2. peradilan anm bebas dan tidak memihak, tidak terpenaruh olh suatu kekuasaaan lain apapun
3. jaminan kepuasan hokum dalam smua persoalan. Ang dimaksud kepastian hokum yaitu jaminan bahwa ketentuan hukumnya dapat dipahami, dapat ilakasanakan dan aman da;laam melaksanakannya.

Geen opmerkingen: